Rabu, 02 Januari 2013

Sikap Jepang Terhadap Suku Dayak

Jepang berhasil melumpuhkan semangat perjuangan masyarakat kota. Kini tiba gilirannya penduduk daerah pedalaman harus dihadapi. Daerah pedalaman dihuni oleh etnis Dayak. Suku ini telah memahami batapa kejamnya tentara Jepang menyiksa dan mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat. Para sultan dan panembahan mereka telah banyak dibunuh dan disiksa secara kejam. Benih permusuhan itu telah tertanam dengan kuat.

Maka, kini gilirannya kekejaman Jepang diarahkan pada pendduk pedalaman. Mengetahui gelagat demikian, orang Dayak pun mengatur siasat. Apa siasat itu?

Terlena dalam kemenangan demi kemenangan yang diraih tanpa adanya kekuatan yang sanggup mematahkan membuat Jepang terlampau percaya diri. Pasukan Jepang dan kaki tangannya terus merangsek masuk jauh hingga ke pedalaman. Tujuannya satu: ingin menguasai Kalbar seluruhnya. Menekuklututkan semua penduduk. Lalu menguasainya.

Di tengah-tengah keterlenaan itu, Jepang tidak menyadari jika para Dayak telah mengatur siasat. Tidak ada laporan mata-mata yang masuk jika penduduk asli Kalimantan ini siap menghadapi. Dengan membiarkan Jepang masuk rumah mereka, para Dayak sebenarnya telah membuat perangkap maut.

Toh demikian, Jepang tetap waspada. Tindakan preventif dilancarkan. Senjata orang Dayak disita dan dikumpulkan. Senapan lantak, sumpit, mandau, panah, tombak (burus), parang, dan senjata tajam lainnya milik orang Dayak diminta untuk diserahkan. Sayangnya, permintaan ini sama sekali tidak diindahkan orang Dayak.

Jepang lalu marah luar biasa karena permohonan mereka ditampik Dayak. Maka Jepang mulai bertindak tegas. Barangsiapa yang tidak mengindahkan perintah, akan ditindakdengan tegas. Terutama para kepala adat akan mendapatkan hukuman yang sangat berat kalau kedapatan menyimpan senjata dan terbukti melawan.

Merasa Jepang menyerang dan masuk rumah mereka tanpa permisi, para Dayak tak setitik pun dihinggapi persaan takut. Ancaman Jepang sama sekali tidak menciutkan nyali mereka untuk menyerah kalah. Sebaliknya, semakin mengobarkan semangat persatuan untuk melawan dan segera memukul mundur mereka.

Para pemimpin adat Dayak sudah mafhum bahwa tentara Jepang sangat haus akan wanita-wanita. Kelemahan ini coba dimanfaatkan. Ketika masuk daerah pedalaman dan pemukiman orang Dayak, tentara Jepang disuguhi tuak dan arak. Yang menyuguhkan para wanita Dayak yang saat itu rata-rata masih berpakaian tradisional, bersongket dan bertelanjang dada. Namun, para wanita ini tidak asal melayani. Mereka sudah tahu tugasnya. Di tengah-tengah mabuk kepayang oleh pesta dan cinta, tentara-tentara Jepang dihabiskan para lelaki Dayak. Mereka diayau dan menemui ajalnya di tangan para headhunters.

Demikian pun, dalam perang terbuka di hutan-hutan, Jepang tak pernah sekali pun memetik kemenangan melawan pasukan Dayak. Para penglima perang Dayak yang sangat menguasai medan, dengan mudah memukul pasukan Jepang. Di waktu siang, para lelaki Dayak tidak pernah kedapatan berada di rumah. Mereka selalu mengundurkan diri ke hutan-hutan. Jepang mengira bahwa mereka sudah habis.

Manakala pasukan Jepang mengadakan patroli, orang Dayak dengan cepat menyergap. Dibantu sesama Dayak baik dari Kalimantan seluruhnya maupun dari daerah semenanjung Melayu, Tumasik dan sekitarnya, orang Dayak bersatu padu melawan Jepang.

Ajakan minta bala bantuan dengan tanda mangkok merah telah beredar dari kampung ke kampung. Pekik perang dan perlawanan sudah sampai ke seluruh penjuru. Maka, datanglah secepat kilat pasukan perang Dayak dari suku Iban, Sungkung, Seribas, Kantuk, Punan, Bukat, dan lain-lain menambah kekuatan perang.

Tentara Jepang bukan saja kocar kacir oleh orang Dayak, tapi juga dipukul telak dan tidak berkutik. Memang nama Pangsuma tercatat sebagai panglima perang Dayak pada masa pendudukan Jepang ini.

Namun, sebenarnya, masih terdapat panglima perang Dayak yang lain selain Pangsuma. Yakni Pang Dandan dan Pang Solang. Nama mereka kurang dikenal, namun jasa-jasanya jelas tak dapat dinafikan.

Sementara dari tanah Jangkang, panglima perang Dayak yang terkenal adalah Panglima Kilat. Kisah-kisah heroik dan epos Panglima Kilat hingga dekade 1970-an, masih sering dituturkan pada anak-anak. Ia dilukiskan sebagai sosok yang gagah berani, kuat, kebal, dan suka menolong. Jika ada orang Dayak yang menyerukan bantuan, secepat kilat ia datang membantu.

Usai Perang Majang Desa, Dayak Jangkang dan sekitarnya merayakan kemenangan ngayau di Bonti. Waktu ini kepala-kepala suku daerah Sanggau berkumpul, berpesta, menari (taja) di antara kelapa-kepala musuh (Jepang).

Ngayau tidaklah merupakan keputusan sesaat, harus melalui permufakatan antarpemerintahan lokal. Maklumat ngayau haruslah datang dari ketua para macan.
Sumber : ARS SCRIBENDI

Tidak ada komentar: